Senin, 25 Februari 2013

Terminal upil


Pada tahun 1996, Will Eisner menerbitkan buku Graphic Storytelling, di mana ia mendefinisikan komik sebagai "tatanan gambar dan balon kata yang berurutan, dalam sebuah buku komik." Sebelumnya, di tahun 1986, dalam buku Comics and Sequential Art, Eisner mendefinisikan teknis dan struktur komik sebagai sequential art, "susunan gambar dan kata-kata untuk menceritakan sesuatu atau mendramatisasi suatu ide".
Dalam buku Understanding Comics (1993) Scott McCloud mendefinisikan seni sekuensial dan komik sebagai
juxtaposed pictorial and other images in deliberate sequence, intended to convey information and/or to produce an aesthetic response in the viewer.
Para ahli masih belum sependapat mengenai definisi komik. Sebagian diantaranya berpendapat bahwa bentuk cetaknya perlu ditekankan. Yang lain lebih mementingkan kesinambungan gambar dan teks. Sebagian lain lebih menekankan sifat kesinambungannya (sequential). Definisi komik sendiri sangat supel karena itu berkembanglah berbagai istilah baru seperti:
Untuk lingkup Nusantara, seorang penyair dari semenanjung Melayu (sekarang Malaysia) Harun Amniurashid (1952) pernah menyebut 'cerita bergambar' sebagai rujukan istilah cartoons dalam bahasa Inggris. Di Indonesia terdapat sebutan tersendiri untuk komik seperti diungkapkan oleh pengamat budaya Arswendo Atmowiloto (1986) yaitu cerita gambar atau disingkat menjadi cergamyang dicetuskan oleh seorang komikus Medan bernama Zam Nuldyn sekitar tahun 1970. Sementara itu Seno Gumira Ajidarma (2002), jurnalis dan pengamat komik, mengemukakan bahwa komikus Teguh Santosa dalam komik Mat Romeo (1971) pernah mengiklankan karya mereka dengan kata-kata "disadjikan setjara filmis dan kolosal" yang sangat relevan dengan novel bergambar.

[sunting]
Istilah cerita bergambar

Akronim cerita (ber)gambar, menurut Marcell Boneff mengikuti istilah cerpen (cerita pendek) yang sudah terlebih dahulu digunakan, dan konotasinya menjadi lebih bagus, meski terlepas dari masalah tepat tidaknya dari segi kebahasaan atau etimologis katanya.
Tetapi menilik kembali pada kelahiran komik, maka adanya teks dan gambar secara bersamaan dinilai oleh Francis Laccasin (1971) sebagai sarana pengungkapan yang benar-benar orisinal. Kehadiran teks bukan lagi suatu keharusan karena ada unsur motion yang bisa dipertimbangkan sebagai jati diri komik lainnya.
Karena itu di dalam istilah komik klasik indonesia, cerita bergambar, tak lagi harus bergantung kepada cerita tertulis. Hal ini disebut Eisner sebagai graphic narration (terutama di dalam film dan komik).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar